Selasa, 06 Maret 2012

Balai Amas dan Batu Beranak

Cerita ini adalah cerita di kampung halaman di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Asal mula cerita Balai Amas (Balai Emas) dan Batu Beranak ini merupakan sebuah tempat berdirinya pohon Ulin yang sangat besar.
Balai Emas dan Batu Beranak
Dahulu kala, disebuah pohon Ulin yang sangat besar ini hidup seekor burung Garuda yang setiap waktu kerjaannya memakan anak bayi yang masih di dalam ayunan. Karena semakin lama semakin meresahkan, para penduduk kampung bersepakat untuk memikirkan cara bagaimana menyingkirkan burung Garuda tersebut. Pohon Ulin itu mempunyai diameter kira-kira sama besarnya dengan rumah tipe 36. (Gambar bangunan di atas mencerminkan besarnya ukuran pohon kayu ulin tersebut.)
Berbagai macam peralatan dicobakan untuk menebang pohon ulin tersebut tetapi tidak satupun yang mampu menggores batang kayunya. Akhirnya ada seorang tetuha kampung setempat mencoba menumbangkan pohon tersebut dengan sebilah pisau. Dikorek perlahan-lahan akar pohon ulin tersebut dengan hanya menggunakan sebilah pisau kecil tidak disangka-sangka pohon Ulin raksasa inipun roboh bersama burung Garuda di atasnya. Konon, saking tinggi dan besarnya pohon Ulin ini pucuknya sampai roboh ke daerah Marabahan, Barito Kuala (± 50 km dari Banjarmasin, ± 200 km dari Kandangan), sehingga nama daerah itu disebut Marabahan yang berarti tempat rabah (roboh) pohon Ulin tadi.
Setelah keadaan aman, bekas tumbuh pohon Ulin tadi dibuat sebuah balai (ada gambarnya). Di balai inilah sejak dulu diadakan berbagai macam selamatan dan acara adat setiap tahunnya. Menurut informasi pada malam ahad ini tanggal 20 Oktober 2007 akan diadakan upacara Manaradak di balai tersebut, sebagai tanda awal menanam padi.
Di kampung ini juga ada dua buah tempat yang diyakini penduduk memiliki kesaktian, yaitu Batu Beranak. Tempat batu beranak ini asalnya tidak ada apa-apa, tiba-tiba bermunculan batu-batu memenuhi tempat tersebut sehingga oleh penduduk setempat diberi gelar Batu Beranak. Konon, ukuran batu yang ada disini bisa tumbuh berkembang sampai akhirnya melahirkan batu kecil di sekelilingnya, begitu seterusnya seperti siklus hidup manusia.
Pernah ada yang iseng-iseng mencoba mengukur batu tersebut, setiap hari Jumat batu yang sama diukur dan menurut keterangan para saksi batu yang diukur tersebut memang terus bertambah ukurannya. Pernah juga ada orang yang mengambil untuk dibawa pulang ternyata beberapa hari kemudian batunya hilang setelah diperiksa batu yang sama kembali ke tempatnya semula.
Demikian sekilas oleh-oleh cerita dari kampung dan memperkenalkan tempat yang diyakini masyarakat setempat sebagai tempat berkeramat sebagai bagian dari kekayaan budaya Banjar.
Bagi yang penasaran, silakan untuk mengunjungi dua tempat tersebut. Pisau yang digunakan untuk merobohkan pohon Ulin tadi masih disimpan secara turun temurun oleh penduduk kampung, bila berkunjung ke sana bisa mencari informasi lebih lanjut. Untuk sementara diberi photonya dulu.

Kabupaten Hulu Sungai Selatan berjarak sekitar 145 kilometer dari Banjarmasin dan kota Kandangan sebagai ibukotanya. Di wilayah ini, tepatnya di kecamatan Simpur, terdapat sebuah desa yang dinamakan desa Pantai Ulin. Entah kenapa dinamakan dengan nama tersebut, menurut hemat saya mungkin dulu daerah ini memang awalnya pantai, atau kata “pantai” diartikan sebagai daerah yang kaya akan sesuatu (daerah yang kaya akan ulin atau kayu besi) karena ada juga daerah di Hulu Sungai yang diberi nama pantai, seperti Pantai Hambawang. Di desa ini berkembang sebuah cerita yang mengisahkan kesaktian tokoh yang mereka percayai masih hidup di alam lain yaitu Datu Ulin. Datu Ulin dipercaya sering muncul pada saat upacara syukuran yang di adakan di desa setiap setelah selesai panen. Upacara syukuran ini masih diadakan sampai sekarang. Menurut penuturan Camat Simpur dan beberapa warga, setiap syukuran dilaksanakan, pesertanya selalu membludak, padahal warga yang diundang hanya berasal dari desa-desa yang bersebelahan dengan desa Pantai Ulin, yang apabila dihitung-hitung jumlah tidak sampai sepuluh ribu orang, akan tetapi yang hadir malah lebih dari itu. Sisa peserta yang sedemikian banyaknya tersebut dipercaya berasal dari alam gaib, alias mahluk halus. Menurut cerita, dahulu ada sebuah pohon ulin (kayu besi) yang tumbuh dengan subur, lebat, dan batangnya sangat besar. Di pohon inilah kemudian hinggap seekor burung yang sangat besar. Karena pohon tersebut sangat besar, burung ini pun sangat senang berada di sana, mudah mencari makan dan dapat mengawasi wilayah yang ada di sekitarnya. Di sini lah dimulainya sebuah bencana besar. Burung tersebut mulai memakan manusia yang ada di sekitar desa, lambat tapi pasti. Selain itu, kepakan sayap si burung menimbulkan angin deras yang dapat menerbangkan pohon, rumah, dan apa saja yang ada di sekitarnya. Warga desa menjadi takut dibuatnya. Setelah menjalani sebuah pembicaraan, mereka setuju untuk bergotong royong menebang pohon ulin karena hanya itu jalan satu-satunya agar burung ganas dapat diusir. Waktu yang telah disepakati untuk menebang pohon tersebut pun tiba. Orang-orang mulai mengeluarkan parang mereka dan berusaha menebang pohon ulin. Tapi apalah daya, karena sudah terlalu tua, pohon tadi sangat sulit untuk ditebang, jangan kan untuk memotong, melukai batangnya pun sangat sulit. Setelah beberapa lama, parang dan segala alat pemotong pun habis, karena patah dan sudah tidak dapat digunakan lagi. Mereka bertambah gusar, semuanya terdiam, memikirkan cara bagaimana memotong pohon tersebut. Salah seorang warga tiba-tiba mendengar burung tinjau (murai) yang berbunyi “kuit cau, kuit cau”. Warga tersebut tiba-tiba mendapat ilham. Ia mengartikan suara burung tersebut dengan “kuit (congkel) dengan pisau”. Ia pun pulang dan mengambil pisau kecilnya di rumah. Setelah kembali, para warga desa menertawakannya, mengapa tidak, jangankan pisau, bahkan parang yang sangat besar saja tidak dapat berbuat banyak. Ia tidak menghiraukan ocehan mereka, ia tetap melakukan apa yang dipercayanya untuk dapat menumbangkan pohon tersebut. Ternyata apa yang diyakininya itu terbukti! Dengan sekali congkel di bagian akar dengan menggunakan pisau tadi, pohon ulin yang besar dapat tumbang. Warga desa terkejut tidak percaya dengan apa yang mereka saksikan. Mereka menghampiri dan menyanjung. Warga yang berhasil menumbangkan pohon ulin tersebut kemudian diberi gelar sebagai Datu Ulin. Pohon ulin tersebut dipercaya oleh masyarakat Pantai Ulin tumbang sampai ke Marabahan. “Marabahan tu bakas karabahan pohon ulin, makanya dingarani urang Marabahan” kata beberapa orang tua di sana. Cerita tadi mungkin hanya sebuah dongeng, tapi masyarakat di desa Pantai Ulin mempercayainya sebagai kenyataan. Salah satu tokoh pemuka bahkan memiliki bukti berupa beberapa bekas potongan parang yang patah akibat pohon ulin tersebut dan sebuah pisau yang merupakan alat yang digunakan untuk mencongkel pohon ulin tadi. Kata beberapa orang warga, tidak semua orang diijinkan melihat benda-benda tersebut, tapi kebetulan saya, dosen saya dan beberapa orang teman berkesempatan untuk melihat benda tersebut. Terserah percaya atau tidak, yang pasti saya mengharapkan komentar dari semuanya…

Dahulu, disebuah kampung ada sebuah pohon ulin yang sangat besar. Di pohon ini hidup seekor burung garuda yang sering memakan ternak-ternak milik penduduk yang berdiam di sana. Lama-kelamaan, ternak milik penduduk mulai habis, maka akhirnya burung garuda itu menjadikan anak bayi yang masih di dalam ayunan sebagai santapan makanya. Hal ini tentu saja sangat meresahkan para penduduk yang ada di sana. Para pendudukpun mulai berkumpul dan memikirkan bersama-sama bagaimana caranya agar mereka bisa menyingkirkan burung garuda tersebut yang semakin menjadi-jadi. Ahirnya para pendudukpun bersepakat untuk bersama-sama menebang pohon ulin tersebut agar burung garuda itu tidak lagi bersarang di sana.
Para penduduk berupaya keras agar bisa menumbangkan pohon ulin yang disarangi oleh burung garuda tersebut. Berbagai macam peralatan dan carapun mereka dilakukan, tetapi tidak satupun peralatan penduduk yang mampu menebangnya, bahkan kulit kayunya saja tidak tergores sedikitpun. Merekapun mulai berputus asa karena mereka tidak bisa menebang pohon ulin itu. Sampai pada akhirnya ada seorang tetuha kampung di sana yang berinisiatif untuk mencoba merobohkan pohon tersebut dengan hanya menggunakan sebilah pisau. Diapun mulai mengore-ngorek secara perlahan akar pohon ulin tersebut. Ajaibnya, apa yang dilakukan oleh tetuha adat untuk menumbangkan pohon ulin raksasa itu mulai membuahkan hasil. Melihat hal tersebut, para penduduk yang lain juga mengikuti apa yang dilakukan oleh tetuha kampung itu. Dan hal yang tidak pernah disangka para penduduk sebelumnya itu ternyata terjadi. Pohon ulin raksasa yang sangat kuat dan kokoh itupun bisa dirobohkan bersama dengan burung garuda yang bersarang di atasnya hanya dengan menggunakan sebuah pisau kecil.
Akhirnya para penduduk kampung itupun bisa hidup kembali tenang, setelah teror yang selama ini selalu nenghantui mereka dari burung garuda yang memakan anak-anak mereka yang masih dalam ayunan sudah tidak ada lagi.
Tempat di mana dulu tumbuh pohon ulin tersebutpun menjadi ramai dan akhirnya terbentuk pasar yang disebut Pasar Ulin, yang pada akhirnya daerah tersebut diberi nama Ulin. Sedangkan bekas tumbuh pohon ulin tadi dibuat sebuah balai yang diberi nama balai Amas. Di mana balai ini dijadikan para warga untuk berbagai macam aruh atau selamatan untuk upacara adat.
Adapun letak kampung Ulin ini berada di Kecamatan Simpur, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
Sedikit tambahan. Konon menurut cerita, karena saking tingginya pohon ulin raksasa itu, pucuk dari pohon ini roboh sampai ke daerah Marabahan, padahal jarak dari kampung tersebut (di daerah Kandangan) sangat jauh dengan daerah Marabahan. Oleh karena, itu daerah tersebut diberi nama Marabahan yang berarti tempat “rabah” atau jatuhnya pohon ulin tersebut.

Cerita Masyarakat Desa Pantai Ulin Kecamatan Simpur Kabupaten Hulu Sungai Selatan; Datu Ulin

pict1452Kabupaten Hulu Sungai Selatan berjarak sekitar 145 kilometer dari Banjarmasin dan kota Kandangan sebagai ibukotanya. Di wilayah ini, tepatnya di kecamatan Simpur, terdapat sebuah desa yang dinamakan desa Pantai Ulin. Entah kenapa dinamakan dengan nama tersebut, menurut hemat saya mungkin dulu daerah ini memang awalnya pantai, atau kata “pantai” diartikan sebagai daerah yang kaya akan sesuatu (daerah yang kaya akan ulin atau kayu besi) karena ada juga daerah di Hulu Sungai yang diberi nama pantai, seperti Pantai Hambawang.
Di desa ini berkembang sebuah cerita yang mengisahkan kesaktian tokoh yang mereka percayai masih hidup di alam lain yaitu Datu Ulin. Datu Ulin dipercaya sering muncul pada saat upacara syukuran yang di adakan di desa setiap setelah selesai panen. Upacara syukuran ini masih diadakan sampai sekarang. Menurut penuturan Camat Simpur dan beberapa warga, setiap syukuran dilaksanakan, pesertanya selalu membludak, padahal warga yang diundang hanya berasal dari desa-desa yang bersebelahan dengan desa Pantai Ulin, yang apabila dihitung-hitung jumlah tidak sampai sepuluh ribu orang, akan tetapi yang hadir malah lebih dari itu. Sisa peserta yang sedemikian banyaknya tersebut dipercaya berasal dari alam gaib, alias mahluk halus.
Menurut cerita, dahulu ada sebuah pohon ulin (kayu besi) yang tumbuh dengan subur, lebat, dan batangnya sangat besar. Di pohon inilah kemudian hinggap seekor burung yang sangat besar. Karena pohon tersebut sangat besar, burung ini pun sangat senang berada di sana, mudah mencari makan dan dapat mengawasi wilayah yang ada di sekitarnya. Di sini lah dimulainya sebuah bencana besar. Burung tersebut mulai memakan manusia yang ada di sekitar desa, lambat tapi pasti. Selain itu, kepakan sayap si burung menimbulkan angin deras yang dapat menerbangkan pohon, rumah, dan apa saja yang ada di sekitarnya. Warga desa menjadi takut dibuatnya. Setelah menjalani sebuah pembicaraan, mereka setuju untuk bergotong royong menebang pohon ulin karena hanya itu jalan satu-satunya agar burung ganas dapat diusir.
Waktu yang telah disepakati untuk menebang pohon tersebut pun tiba. Orang-orang mulai mengeluarkan parang mereka dan berusaha menebang pohon ulin. Tapi apalah daya, karena sudah terlalu tua, pohon tadi sangat sulit untuk ditebang, jangan kan untuk memotong, melukai batangnya pun sangat sulit. Setelah beberapa lama, parang dan segala alat pemotong pun habis, karena patah dan sudah tidak dapat digunakan lagi.
Mereka bertambah gusar, semuanya terdiam, memikirkan cara bagaimana memotong pohon tersebut. Salah seorang warga tiba-tiba mendengar burung tinjau (murai) yang berbunyi “kuit cau, kuit cau”. Warga tersebut tiba-tiba mendapat ilham. Ia mengartikan suara burung tersebut dengan “kuit (congkel) dengan pisau”. Ia pun pulang dan mengambil pisau kecilnya di rumah. Setelah kembali, para warga desa menertawakannya, mengapa tidak, jangankan pisau, bahkan parang yang sangat besar saja tidak dapat berbuat banyak. Ia tidak menghiraukan ocehan mereka, ia tetap melakukan apa yang dipercayanya untuk dapat menumbangkan pohon tersebut.
Ternyata apa yang diyakininya itu terbukti! Dengan sekali congkel di bagian akar dengan menggunakan pisau tadi, pohon ulin yang besar dapat tumbang. Warga desa terkejut tidak percaya dengan apa yang mereka saksikan. Mereka menghampiri dan menyanjung. Warga yang berhasil menumbangkan pohon ulin tersebut kemudian diberi gelar sebagai Datu Ulin.
Pohon ulin tersebut dipercaya oleh masyarakat Pantai Ulin tumbang sampai ke Marabahan. “Marabahan tu bakas karabahan pohon ulin, makanya dingarani urang Marabahan” kata beberapa orang tua di sana.
Cerita tadi mungkin hanya sebuah dongeng, tapi masyarakat di desa Pantai Ulin mempercayainya sebagai kenyataan. Salah satu tokoh pemuka bahkan memiliki bukti berupa beberapa bekas potongan parang yang patah akibat pohon ulin tersebut dan sebuah pisau yang merupakan alat yang digunakan untuk mencongkel pohon ulin tadi. Kata beberapa orang warga, tidak semua orang diijinkan melihat benda-benda tersebut, tapi kebetulan saya, dosen saya dan beberapa orang teman berkesempatan untuk melihat benda tersebut.
Terserah percaya atau tidak, yang pasti saya mengharapkan komentar dari semuanya…